THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 22 November 2010

KETAQWAAN


Inilah Ketaqwaan!

Adakalanya seseorang jika berada di depan orang banyak maka dia terlihat sebagai orang yang saleh, rajin beribadah dan tidak pernah terlihat sebagai orang yang suka bermaksiat. Namun ketika dia bersendirian, tidak ada seorang  pun yang melihatnya maka ia pun melakukan berbagai kemaksiatan.
Ada juga tipe manusia yang giat beribadah ketika dia mendapat pujian dari manusia, tapi ketika dia mendapatkan itu bahkan yang dia dapat adalah celaan atau kritikan maka diapun berhenti dan tidak bersemangat lagi.
Ciri-ciri di atas adalah sangat jauh dari ketaqwaan. Orang yang bertaqwa akan selalu menghadirkan muraqabatullah (merasa diawasi oleh Allah) dimanapun ia berada dan ia beribadah hanya karena Allah tanpa mengharap balasan dari makhluk.
Meski buah dari ketaqwaan adalah manis namun tidak semua bisa mencicipinya, karena jalan untuk meraihnya memang bukan jalan yang sangat mudah, untuk sampai ke sana butuh perjuangan, kesabaran, pengorbanan.

Dua Tanda Ketaqwaan


Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 


Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt.


Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt.


Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau mSENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00emberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq.


Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya.


Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah.




Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal.


Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu.


Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapiDua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individuDua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tDua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.Dua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru saDua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapiDua Tanda Ketaqwaan
SENIN, 07 SEPTEMBER 2009 00:00
Dua tanda penting seorang disebut telah bertaqwa adalah pertama menjalankan sholat dengan khusus’ dan kesediaan untuk meninfaqkan sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Hal itu bisa dilihat di awal surat al Baqoroh. Setelah menyebut iman terhadap yang ghaib, sebagai tanda ketaqwaan seseorang, maka kemudian disambung dengan menjalankan sholat, dan kemudian dilanjutkan dengan kata infaq. Melihat urutan itu saja, menunjukkan betapa pentingnya dua hal tersebut dipenuhi sebagai pertanda ketaqwaan seseorang. 

Tanda ketaqwaan lainnya, yaitu iman terhadap yang ghaib, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan keyakinan terhadap hari akhir, yang ketiganya tidak bisa dideteksi secara tepat. Tanda-tanda itu yang tahu hanyalah Allah sendiri. Sebab, keimanan letaknya ada di dalam hati. Bisa jadi seseorang mengatakan telah beriman, tetapi pengakuan itu belum tentu benar. Orang bisa bersikap pura-pura beriman sedangkan pada hakekatnya tidak. Keimanan seseorang hanya diketahui secara tepat oleh Allah swt. 

Memang menurut beberapa ayat al Qurán dan hadits nabi ada beberapa tanda-tanda keberimanan seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan beriman yaitu manakala dibacakan ayat-ayat al Qurán maka hatinya bergetar. Tetapi itu pun yang paling tahu juga hanya Allah sendiri. Dalam hadits nabi juga dikatakan bahwa sebagai tanda beriman adalah mencitai sesama saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Seserorang dikatakan telah mencintai saudaranya, lagi-lagi karena berada di kawasan hati, maka yang tahu hanyalah Allah swt. 

Atas dasar pemahaman seperti itu maka tanda ketaqwaan seseorang hanya bisa diketahui orang lain dari dua hal saja, yaitu bagaimana sholat yang dijalankan dan seberapa banyak ia mau memberikan sebagian harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Lagi-lagi sesdungguhnya, pengetahuan tentang dua hal itu pun juga hanya sebatas pada gerakan fisik. Bahwa apa yang bisa dilihat dari seseorang hanya gerakannya. Selainnya itu tidak bisa. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa seseorang bisa bersikap pura-pura, atau seolah-olah. Sehingga seseorang bisa pura-pura atau seolah-olah shalat, atau seolah-olah berinfaq. 

Kualitas amal seseorang tidak saja dilihat dari yang tampak, melainkan lebih dari itu, ialah bagaimana niat atau suara hati pelakunya. Ibadah seharusnya didasari oleh niat yang benar, yaitu ikhlas hanya untuk Allah semata. Ibadah tidak selayaknya dilakukan hanya oleh karena ingin dipuji atau riya’. Lagi-lagi tatkala berbicara tentang suara hati, maka kembali, bahwa yang paling tahu, hanyalah Allah swt. semata. Akan tetapi, paling tidak secara fisik tatkala orang melakukan sholat dan juga membayar infaq, entah didasarkan pada niat ikhlas atau tidak, tampak bahwa seseorang menjalankannya. 

Dua indikator ketaqwaan tersebut jika digunakan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, memang terasa keduanya masih perlu dipertanyakan. Dua indikator ini belum terlalu tampak menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kita lihat misalnya, dalam pelaksnaan sholat. Apalagi jika hal itu diukur dari apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Nabi. Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menurut berbagai riwayat, selalu melakukan sholat lima waktu dengan berjamaáh. Tidak pernah Nabi menunaikan sholat sendirian, kecuali sholat sunnah. 


Bandingkan dengan keadaan pada saat sekarang ini. Memang jumlah masjid dan musholla sudah sedemikian banyak. Masyarakat sudah sedemikian bersemangat membangun tempat ibadah. Akan tetapi, rupanya kebanyakan masih belum diikuti dengan semangat menggunakannya. Banyak masjid yang dipenuhi jamaáh hanya pada saat sholat jum’át, atau pada saat tarweh di bulan Ramadhan. Pada saat lainnya, seperti pada waktu-waktu sholat fardhu setiap hari, yang datang ke masjid berjamaáh, hanya beberapa saja. Dan itu pun pada saat saat tertentu, misalnya pada waktu maghrib dan insya. Sedangkan pada waktu lainnya, apalagi subuh, masih belum digunakan secara maksimal. 

Begitu pula indikator lainnya terkait dengan pembayaran zakat, infaq dan shodaqoh masih sangat terbatas. Sementara ini, kesadaran memenuhi kewajiban itu baru sampai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam. masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.mpai pada membayar zakat fitrah setahun sekali. Selainnya masih terbatas. Padahal kemajuan kehidupan agama agama apapun, sesungguhnya sangat terkait dengan seberapa banyak kesediaan umat pendukungnya membayar sebagian rizkinya atau kesediaan berkorban untuk kepentingan agama atas dasar keyakinannya itu. 

Jika di masyarakat masih terjadi kesenjangan yang sedemikian lebar, antara yang punya dan yang tidak punya, masih banyaknya fakir miskin dan anak yatim yang tidak terurus, serta jenis kelompok lain yang memerlukan bantuan tetapi masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain. 

Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.ergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam. yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia. 

Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 

Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam. masih terabaikan, maka itu semua pertanda bahwa keberagamaan masyarakatnya masih belum bisa dikatakan kuat. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam Islam diberikan batas minimal besarnya dana yang seharusnya dibayarkan kepada yang berhak, berupa aneka jenis zakat, misalnya zakat pertanian, perdagangan, ternak dan lain-lain.


Jika puasa dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa, maka sesungguhnya tanda-tanda ketaqwaan itu setidak-tidaknya dapat dilihat dari kedua indikator tersebut, yaitu bagaimana setelah bulan Ramadhan, keadaan jamaáh masjid atau mushalla dan juga seberapa besar kaum muslimin tergugah untuk memberikan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk diinfaqkan kepada kepentingan orang lain yang memerlukannya. Infaq bisa dibayarkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan, ataupun disalurkan melalui badan atau organisasi yang tersedia.


Keberhasilan puasa pada Bulan Ramadhan ini, setidak-tidaknya juga akan tampak pada dua hal tersebut. Dan jika ternyata setelah Bulan Ramadhan berlalu, tempat ibadah masjid dan mushalla, menjadi sepi kembali dan demikian juga fakir miskin dan anak yatim masih belum banyak yang merasakan teringankan bebannya, maka bisa dikatakan bahwa puasa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin baru sampai mendapatkan lapar dan dahaga, sebagaimana disinyalir oleh hadits nabi, bahwa banyak orang puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga.


Semoga puasa kita di Bulan Ramadhan ini tidak demikian, tetapi sebaliknya yaitu sebagaimana yang kita harapkan semua, yaitu akan mendapatkan limpahan rakhmat, maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, setelah melewati Bulan Ramadhan jumlah jamaáh masjid dan mushalla semakin bertambah dan demikian pula orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merasakan manfaat atas puasa kita semua, sehingga setidak-tidaknya kedua jenis tanda ketaqwaan tersebut bisa kita buktikan bersama. Wallahu a’lam.

0 komentar: